1. 1.      Lokasi Lubang Buaya

Lubang Buaya atau Monumen Pancasila Sakti dibangun di areal tanah luas lebih kurang 14 Hektar, terletak di Desa Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Lokasi Monumen Pancasila Sakti berbatasan sebelah selatan dengan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Cilangka. Sebelah utara Lanuman Halim Perdana Kusuma, sebelah timur Pasar Pondok Gede atau Bekasi, dan sebelah barat Taman Mini Indonesia atau asrama Haji Indonesia, PondokGede. Beberapa bulan menjelang 30 September 1965, digunakan PKI dan organisasi massanya sebagai tempat latihan kemiliteran dalam pemberontakan.

  1. 2.      Ciri Khusus Lubang Buaya

Museum Lubang Buaya berisi sumur tua yang di dalamnya terdapat para pahlawan revolusi yang disiksa lalu dibuang di sumur tersebut oleh para pemberontak PKI.
DSCF0407
Ciri khusus lain  dari museum ini yaitu terdapat patung relief sembilan jenderal Angkatan Darat yang dibunuh bersamaan, dengan diatasnya burung garuda yang membentangkan sayapnya yang disebut monumen pancasila
monumen pancasila .
Serta, diorama ataupun relief lain.

  1. 3.      Sejarah Singkat Lubang Buaya

Lubang Buaya pada terjadinya G30S saat itu merupakan pusat pelatihan milik Partai Komunis Indonesia. Nama lubang buaya sendiri berasal dari sebuah legenda yang meyatakan bahwa terdapat buaya-buaya putih di sungai yang terletak di kawasan itu.

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden, sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin“. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin”, Sukarno dengan hangat beranggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama, dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah. Pada kunjungan Menlu yaitu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno, tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan “Kepentingan bersama polisi dan rakyat”. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan “Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi”. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari “sikap-sikap sektarian” kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap kiri untuk membuat “massa tentara” subyek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi serta para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab dan lain-lain). Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis rakyat. Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang “perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis”. Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian “angkatan kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.

Para jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa “NASAKOMisasi” angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan “angkatan kelima”. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara. Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkap adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka dan diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Para dewan jenderal yang dibunuh oleh pemberontak PKI antara lain :

  1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi),
  2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi),
  3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan),
  4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen),
  5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik),
  6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat),
  7. Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean, tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

  1. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena),
  2. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta), dan
  3. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta).
  1. 4.      Koleksi Lubang Buaya

Di dalam museum ini juga terdapat sebuah ruangan khusus yang dinamakan Museum Penghianatan Komunis. Dan dalam ruangan tersebut terdapat diorama perlakuan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap rakyat Indonesia.
diorama-lubang-buaya

Berikut ini adalah contoh isi di dalam ruangan tersebut:

1)   Diorama Peristiwa Tiga Daerah (4 November 1945)

2)   Diorama Aksi Teror Gerombolan Ce’Mamat (9 Desember 1945)

Pada diorama teror Gerombolan Ce’ Mamat, sebagai gembong komunis 1926 dan ketua Komite Nasional Indonesia (KONI) Serang,  menuduh pemerintah RI Banten sebagai kelanjutan kolonial. Mereka juga menghasut rakyat agar tidak mempercayai pejabat pemerintah. Pada 17 Oktober 1945 Ce’ Mamat membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat Serang. Mereka berhasil merebut pemerintahan Karesidenan Banten, menyusun pemerintahan model Soviet. Ce’ Mamat beserta pengikutnya, diantaranya Laskar Gulkut, melakukan aksi teror, merampok, menculik, dan membunuh pejabat pemerintahan saat Presiden Sukarno serta Wakil Presiden Moh. Hatta berkunjung ke Banten.

Ce’ Mamat dengan anak buahnya menjemput R. Hardiwinangun, Bupati Lebak, dari rumahnya di Rangkasbitung dan membawanya ke desa Panggarangan, dengan alasan dipanggil Presiden. Keesokan paginya, 9 Desember 1945, mereka membunuh R. Hardiwinangun dengan menembaknya di atas jembatan sungai Cimancak lalu melempar mayatnya ke sungai.

3)   Diorama Aksi Kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan, Tangerang

(12 Desember 1945)

Diorama ini memperlihatkan tindak kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan, Tangerang, pada 12 Desember 1945. Dimulai pada 18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat pimpinan Ahmad Khairun dengan dukungan gembong komunis bawah tanah berhasil mengambil alih kekuasaan Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara. Mereka membubarkan aparatur pemerintah tingkat desa sampai kabupaten, menolak mengakui pemerintah pusat RI, membentuk Laskar Hitam atau Laskar Ubel-Ubel karena berpakaian serba hitam memakai ubel-ubel (ikat kepala). Laskar Ubel-Ubel melakukan aksi teror dengan membunuh merampok harta penduduk Tangerang dan sekitarnya, seperti Mauk, Kronjo, Kresek, Sepatan.

Pada 12 Desember 1945, dibawah pimpinan Usman, Laskar Ubel-Ubel merampok penduduk Desa Sepatan, melakukan pembunuhan, termasuk membunuh tokoh nasional Otto Iskandar Dinata di Mauk.

4)   Diorama Pemberontakan PKI di Cirebon (14 Februari 1946)

5)   Diorama Peristiwa Revolusi Sosial (9 Maret 1946)

6)   Diorama Pemogokan Buruh Sarbupri (19 Agustus 1948)

7)   Diorama Pengacauan Surakarta (19 Agustus 1948)

Memperlihatkan pengacauan Surakarta pada 19 Agustus 1948, sebagai salah satu upaya pengalihan perhatian pemerintah RI terhadap persiapan kegiatan pemberontakan PKI Madiun. PKI membakar ruang pameran Jawatan Pertambangan ketika berlangsung pasar malam Sriwedari dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Rembetan api dapat dicegah, namun timbul kepanikan pengunjung sehingga 22 orang menderita luka-luka.

8)   Diorama Pemberontakan PKI di Madiun (18 September 1948)

Diorama ini menampilkan pemberontakan PKI Madiun pada 18 September 1948. Gagal menjatuhkan kabinet Hatta dengan cara parlementer, komunis membentuk Front Demokrasi Rakyat, melakukan aksi-aksi politik serta kekerasan.

Muso (Muso Manowar atau Paul Musotte) yang baru kembali dari Moskow dan mengambil alih pimpinan PKI, menuduh Soekarno-Hatta menyelewengkan perjuangan bangsa Indonesia. Ia menawarkan “Jalan baru untuk Republik Indonesia”. Pada saat perhatian pemerintah dan Angkatan Perang terpusat untuk menghadapi Belanda, PKI melakukan kampanye menyerang politik pemerintah, melakukan aksi-aksi teror, mengadu domba kekuatan bersenjata, juga sabotase ekonomi.

Dini hari 18 September 1948, ditandai 3 letusan pistol, PKI memulai pemberontakan Madiun. Pasukan Seragam Hitam menyerbu, menguasai tempat-tempat penting dalam kota, termasuk gedung Karesidenan Madiun. Di gedung ini PKI mengumumkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia” serta membentuk Pemerintahan Front Nasional. Sejumlah petinggi militer, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat pun dibunuh.

9)      Diorama Pembunuhan di Kawedanan Ngawen Blora (20 September 1948)

10)  Diorama Pembebasan Gorang-Gareng (28 September 1948)

11)  Diorama Penghancuran PKI di Sooko ( 28 September 1948)

12)  Diorama Pembantaian di Dungus (1 Oktober 1948)

13)  Diorama Musso Tertembak Mati (31 Oktober 1948)

Diorama ini menggambarkan saat Musso tertembak mati pada 31 Oktober 1948. Pada 1 Oktober 1948, TNI menguasai Dungus yang dijadikan PKI sebagai basis setelah kekalahan mereka di Madiun. Pemimpin dan pasukan PKI lari  ke  arah  selatan, berusaha  menguasai  Ponorogo,  namun  gagal.  Muso  dan Amir Sjarifuddin lari menuju gunung Gambes, dikawal oleh dua batalyon yang cukup kuat dan mereka berpisah di tengah perjalanan.

Musso bersama dua orang pengawalnya menyamar sebagai penduduk desa dan tiba di Balong pada pagi 31 Oktober 1948, dengan menembak mati seorang anggota polisi yang memeriksanya. Dengan menggunakan dokar rampasan diiringi pengawal bersepeda, hari itu juga ia tiba di Desa Semanding, Kecamatan Somoroto. Ia menembak seorang perwira TNI yang mencegatnya, namun tidak mengenai sasaran. Karena tidak bisa menjalankan kendaraan TNI rampasan, Musso lari masuk desa, bersembunyi di sebuah blandong (tempat mandi) milik seorang penduduk. Pasukan TNI yang mengepungnya memerintahkan supaya ia menyerah, namun Musso melawan. Ia mati tertembak dalam peristiwa.

14)  Diorama Pembunuhan Massal di Tirtomoyo (4 Oktober 1948)

15)  Diorama Penangkapan Amir Syariffudin (29 November 1948)

16)  Diorama Serangan PKI di Tanjung Priok (6 Agustus 1951)

17)  Diorama Peristiwa Tanjung Morawa (16 Maret 1953)

18)  Diorama Lahirnya MKTBP PKI (14 Maret 1954)

19)  Diorama D.N Aidit Diadili (25 Februari 1955)

20)  Diorama Kampanye Budaya PKI (25 Maret 1963)

21)  Diorama Rongrongan PKI terhadap ABRI (1964-1965)

22)  Diorama Peristiwa Kanigoro (13 Januari 1965)

23)  Diorama Bandar Betsi (14 Mei 1965)

24)  Diorama Pawai Ofensif Revolusioner PKI di Jakarta (23 Mei 1965)

25)  Diorama Penyerbuan Gubernuran Jawa Timur (27 September 1965)

26)  Diorama Penguasaan Kembali RRI Pusat (1 Oktober 1965)

27)  Diorama Peristiwa Kentungan Yogyakarta (2 Oktober 1965)

28)  Diorama Rapat Umum Front Pancasila (9 November 1965)

29)  Diorama Penangkapan D.N Aidit (22 November 1965)

30)  Doirama Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (mahmillub) 14 Februari 1966

31)  Diorama Rakyat Jakarta Menyambut Pembubaran PKI (12 Maret 1966)

32)  Diorama Operasi Trisula di Blitar (20 Jli 1968)

33)  Diorama Penumpasan PKI Ilegal Iramani di Puwodadi (27 Januari 1973)

34)  Diorama Tetembak Matinya S.A Sofyan (12 Januari 1974)

Selain itu museum ini memiliki berbagai koleksi diantaranya,

1)      Sumur Maut, tempat dibuangnya para dewan jenderal oleh PKI.

2)      Rumah-rumah bersejarah, terdapat suatu dapur yang masih utuh yang digunakan oleh sekawanan PKI dalam menyiapkan makanannya. Kemudian ruang penyiksaan, ruangan ini digambarkan dengan ilustrasi patung para orang-orang PKI yang menyiksa jenderal Angkatan Darat yang belum sempat terbunuh. Selanjutnya ruangan yang lain yang tidak kalah menariknya.

3)      Mobil Dinas menpangad Letjen. TNI Ahmad Yani, mobil ini digunakan oleh TNI Ahmad Yani untuk pergi bertugas.

4)      Mobil Dinas pangkostrad Mayjen TNI Soeharto ( Toyota Kanvas)

5)      Truk dodge
truk dodge

6)      Pancer  Saraceen